Rabu, 24 Desember 2008

Apa iya ?

Apa iya gara-gara wanita, laki-laki bisa begitu lemah?
Apa iya karena perempuan, laki-laki bisa begitu patah semangat karena ditinggal pergi?

Jawaban atas semua pertanyaan itu mengarah pada adanya sifat rohman rohimnya Allah. Bagaimanapun pasangan yang telah dikaruniakan Allah pada kita seakan mewakili kehadiran Allah yang ‘karib’, yang begitu dekat, sedekat deret urat leher kita.

Sehingga, suatu saat hubungan seseorang dengan pasangannya yang mengalami fluktuasi (pasang surut) bisa melemahkan semangat hidup. Secara ilmiah bisa disebut sebagai sindroma (ketakutan) hidup sendirian tanpa adanya pendamping, tanpa adanya orang yang menyayangi kita dengan tulus.

Bila mau jeli (tafakkur) semestinya kita dapat mengambil satu garis tegas bahwa Allah berperan dalam menghadirkan diri-Nya lewat pasangan kita. Jika pasangan kita mencintai kita dengan tulus maka Allah rohman rohim tanpa syarat.

Maksudnya, tidak peduli apakah kita iman ataupun tidak iman hal itu tidak mengurangi kecintaan Allah pada makhluk-Nya. Lihat saja, apa yang sering kita sebut sebagai kaum kafir atau juga atheis, mereka tetap bisa hidup mapan, makan enak, tidur nyenyak dan sebagainya, tidak beda dengan orang-orang beriman.

Jadi, penting untuk kita sadari bahwa yang tersaji di sekitar kita semuanya adalah representasi Allah. Untuk sampai pada hikmah tersebut, caranya adalah dengan memandang, memperhatikan, memikirkan, merenungkan lalu merasakan dengan “Li Allah”, pasti kita akan mendapatkan sesuatu di sana (atas ijin Allah). Bergantung pada kemurahan Allah dalam meluberkan sesuatu itu kepada kita. Bila kita memang disiapkan memiliki wadah yang luas, penjelasannya akan jelas dan gamblang sampai pada detail masalah. Sebaliknya, bila kita disiapkan memiliki wadah yang sempit, ya itulah jatah untuk kita. Lalu, bagaimana bila kita tidak disiapkan memiliki wadah ? Tidak menjadi soal, berarti kita memang dijatah untuk mendapatkan hikmah tersebut dengan perantara orang lain. Jangan berharap mendapat jatah yang besar bila wadah kita memang kecil, apalagi ternyata kita tidak memiliki wadah. Tidak repot kan menjadi manusia itu ? ya, sesederhana itu.

Allah maha…., Allah rohman wa rohim,
Representasi Allah berupa istri atau kekasih hendaknya membuat kita tadzakkur, selalu mengingat Allah dalam berbagai tempat dan waktu. Seperti jatuh cintanya sepasang kekasih yang tidak bisa tidak berdekatan, selalu bersama kemanapun.

Jadi bila kita ditinggal pergi kekasih saja sudah sedemikian sedih apalagi ditinggal Allah…?
(Opo tumon Allah ninggal makhluknya)

Wallahu alam
Kajang, 23 Juni 2008
09.43 WIB

Ademe Ati

Suatu ketika kami, bertiga, santri-santri pilek sowan ke “dalem”-nya mbah sepuh. Dan seperti biasa beliau selalu menyambut kami dengan senyum ceria, antusias khas masyarakat jaman kemarin yang selalu menyajikan 3 “uh” di dalam kesederhanaan dan kesejukan rumah beliau. Gupuh, lungguh dan suguh adalah 3 uh yang selalu mbah putri ekspresikan dengan gaya khas Jawa . Ini yang “ngangeni” kami semua.

Malam itu setelah berbasa-basi dengan saling menceritakan kabar keluarga masing-masing mbah sepuh melontarkan sekaligus mengupas satu poin poin penting yang selalu menjadi bahan perenungan bagi kami bersama. “Ademe ati” begitu beliau membuka pembahasan dengan gaya agitasi yang sedikit banyak telah mewarnai kami dari mula hingga kini.

Rumus penting dari beliau adalah “Sing sopo wonge wani miyak (membuka, berbicara) tentang ademe ati, pasti wis pernah ngrasakne panase ati”. Sebuah kalimat yang sederhana dan logis, seperti biasa gampang dicerna sebagai sebuah hubungan kausalitas. Artinya, siapapun yang membicarakan tentang ketentraman hati (dingin hati), itu semua bisa terjadi karena dia pernah merasakan terhijab tabir gelap, panas hati, kufur.

Berarti para da’i dan kyai podium itu ngarang (begitu penegasan dalam hatiku ketika mendengar penjelasan itu). Mereka berbicara dengan meledak-ledak tentang segala soal yang terkait dengan ketentraman hati tetapi tidak diimbangi dengan pembahasan yang mendalam tentang panasnya hati. Harusnya balance ! Umat jangan hanya diiming-imingi ketentraman hati tanpa diurai mengapa hati bisa tentram mengapa hati bisa dingin. Bagaimana umat akan cerdas bila mereka hanya mendapat uraian tentang imini-iming sorga tanpa diiming-iming (diberi penjelasan) bahwa nerakanya Allah juga dingin bagi yang dikehendaki.

Ada banyak orang yang telah ditempatkan oleh Allah untuk berada di neraka namun tetap dingin. Dia merasa tidak kerasan di surga karena memang bukan tempatnya. Apakah orang macam ini tidak iman ? Wallhu alam iman…banget !

Ketika setan “Aba wastakbara” dengan tidak mau hormat takzim kepada Adam as beberapa ribu tahun silam, dia disabda oleh Allah untuk tinggal di neraka. Dan setan iman kepada Allah untuk tetap tinggal disana, dia tidak membandel dengan ingin masuk surga ataupun juga kemudian pingin bisa sholat, bersujud dan lain sebagainya sebagai pertanda keimanan orang awam. Dia nurut Allah, dia enjoy di neraka. Blas tidak ada niatan untuk tobat. Sudah menjadi tugas setan untuk menyeret manusia ke lembah dosa, kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah terhindar dari setan.

Nah, kadar keimanan si setan adalah perbuatan munkarnya, tidak ada setan yang taat beribadah seperti yang diharapkan oleh para ahli syariat. Sebab tugasnya, kewajibannya adalah berbuat munkar. Kalau setan tobat lalu iman seperti imannya para ahli syariat dunia akan miring, tidak imbang, sebab yang berbuat baik terlalu banyak.
Jadi antara setan dan ahli surga itu semacam dua sisi mata uang yang kemana-mana selalu kita tenteng. Menghadap manapun uang itu akan tetap laku. Kita mesti bersyukur biladi posisikan sebagai pemilik uang dan bukan sebagai salah satu sisi dari uang tersebut yang akan selalu berlawanan, tidak pernah merasakan tentram yang hakiki.

Oleh karena itu pembelajaran terhadap ajaran islam harus memandang dari dari segala sisi, kebaikan yang menjadi lawan kejahatan, panas hati yang menjadi lawan adem ati, selamanya akan tetap bermusuhan.

Para dai dan kyai podium baiknya mengupas barang yang nyata saja, bukan yang utopis seperti surga, neraka, jembatan sirotol mustakim dan hal-hal lain yang dapat membuai umat untuk berubah itikad, bisa-bisa menyesatkan.

Berbahagialah (barokallah ya rasulullah) bagi mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk bisa merasakan surga-Nya, neraka-Nya dan hatinya tetap netral, tawar, tidak terbebani euforia serta tidak merasa sedih dalam segala soal yang dihadapkan untuknya.

Meskipun itu juga utopis namun Allah telah berkehendak, telah menggariskan sesuatu dalam diri kita.

Tunggu saja hidayatullah…


Wallahu alam,
Kajang 14 Agustus 2008
13.50 WIB

Apa Salah Nabi Nuh ?

Apa salah nabi Nuh as sehingga anaknya tidak iman ?
Apa kualitas bibitnya kurang baik sehingga anak nabi Nuh as tidak iman ?
Kurangkah pendidikan dari nabi Nuh as sehingga anaknya tidak iman ?
Tidak ! jawaban atas semua pertanyaan di atas adalah TIDAK !

Jadi, yang namanya nabi itu bertugas sebatas naba’a, cerita-cerita, mengungkap kebaikan di masanya, ndongeng-ndongeng, ngomong-ngomongi, nutur-nuturi. Hanya sebatas itu. Semua ajakan tentang kebaikan tentunya.

Perkara hidayah (petunjuk jalan terang bercahaya menyilaukan), perkara pemahaman, pengertian, bersinarnya hati…semuanya Wallahu alam ! Hanya Allah thok yang tahu, menjadi urusan Allah thok. Nabi, rasul, kyai, penceramah, ustad tidak punya hak (wewenang) pun juga kebisaan untuk mencerahkan seseorang. Tugas mereka semua hanyalah sebatas sebar “dhawuh”, perkara iman atau tidaknya seseorang bukan menjadi urusannya.

Lantas, jangan diukur dengan takaran manusia awam bahwa menjadi guru begitu mulia lalu merasa berjasa dan kemudian besar kepala. Nabi tidak seperti itu, blas tidak punya pemikiran seperti itu. Bagi nabi, semua adalah “Lillahi ta’ala”, artinya semua karena Allah yang menggerakkan, jadi dia tinggal bilang “Alhamdulillah” saja.

Maka itu, sebagai orang tua, sebagai orang yang bertugas memberikan sesuatu (membagi dawuh Allah) kepada orang lain, haruslah “Lillahi ta’ala” pula, bukan kemudian “Li surga” atau “Li fulus” “Li terkenal” atau sejenisnya.

Bila sudah demikian tidak ada lagi ragu-ragu, tidak ada lagi rasa was-was, tidak ada lagi perasaan bersalah bila umatnya tidak manut (nurut) segala omongannya. Sebab dia sadar bahwa tidak nurutnya umat juga karena Allah yang menggerakkan, demikian juga nurutnya umat juga bukan karena kalimatnya yang manjur, semua karena Allah yang menggerakkan.

Oleh karenanya janganlah sekali-kali memvonis orang lain dengan kalimat-kalimat semacam kafir, atheis, su’ul adab dan lain sebagainya. Sebab mereka akan melakukan pembalasan seperti yang telah kita lakukan terhadap mereka. Jadi boleh dikatakan penyebab kekafiran mereka adalah kita yang telah menuduhnya sebagai kafir. Biarkan saja mereka seperti itu, semua sudah ada yang mengatur. Sabda Allah “Nanti di hadapanku akan Aku jelaskan perkara yang benar bagi mereka” (QS Al An am 108).

Lakukan tugasmu sesuai dengan kebutuhanmu, jangan sekali-kali mengingkari kebutuhan, sebab orang yang mengingkari kebutuhan pribadinya, dhohiron wa batinan pertanda dia tidak “bertaqwa”

Wallahu alam
Kajang, 22 Juni 2008
15.02 WIB

Suci

Disebut suci, penertian orang selama ini adalah bila bersih tanpa noda, tanpa cela, tanpa kotoran, atau tanpa najis sedikitpun. Satu hasil oleh pikir yang sungguh idealis. Namun, adakah yang suci bersihseperti yang diidealkan tersebut ? Sementara, sifat suci hanya dimiliki oleh penguasa alam. Sedangkan manusia atau makhluk lain ? Tentu saja jauh dari sifat suci tersebut.

Suci itu bukannya tanpa kotoran, bukan tanpa noda atau sejenisnya. Pun juga suci itu bukanlah sesuatu yang putih bersih, penuh dengan kebenaran dan sejenisnya.

Maka, disebut suci bila sesuatu itu netral tidak berpihak (dalam kondisi nol). Bukan penuh kebenaran dan tentu saja bukan pula sesuatu yang bernoda.

Analogi yang mendekati dari sesuatu yang suci adalah sebuah sepeda motor dalam keadaan gigi persneling 0 (netral). Dia bisa maju maupun mundur tanpa membutuhkan energi (tanpa perlu ditarik gasnya) baik dalam keadaan mesin hidup maupun mati. Beda dengan saat gigi persneling masuk 1. Dalam kondisi mesin mati dia tidak bisa bergerak maju-mundur. Untuk menggerakkannya harus menyalakan mesin terlebih dahulu.

Dengan demikian jelaslah bahwa selagi manusia masih hidup, suci hanyalah sebatas cita-cita, hanya menjadi sebuah keinginan.
Adakah manusia tanpa salah ?
Adakah manusia tanpa cela ?
Adakah manusia yang penuh dengan kebenaran ?
Adakah manusia yang penuh dengan kesucian ?

Wallahu alam, tidak ada satupun !

Bahkan Muhammad bin Abdullah pernah diprotes istri-istrinya gara-gara terlambat memberikan nafkah batin.

Pengakuan-pengakuan atau kesaksian-kesaksian yang selama ini muncul tentang adanya orang suci atau makhluk lain yang dianggap suci hanyalah iming-iming dari Allah untuk kita agar keinginan untuk selalu berdekatan dengan Allah selalu terpelihara dengan baik.

Bukan lantas kagum pada karomah seorang hamba Allah, lalu tgerbutakan.Tidak bisa melihat Allah di balik segala karomah tersebut. Ini justru kafir, syirik !

Tidak usah bercita-cita suci
Tidak usah bercita-cita bersih, putih tganpa noda
Tidak usah bercitacita mendapat karomah

Jalani dan lakukan apa yang tersaji di hadapan kita
Allah kuasa atas segala sesuatu….

Wallahu alam
Kajang, 8 Juli 2008
09.39 WIB

Nama Saya Kamid

Nama saya kamid...

Ibu saya memberi nama bukan seperti itu namun pada perkembangannya saya semakin tahu dan sadar bahwa nama yang paling sesuai untuk saya adalah Dul Kamid...tidak lebih dari itu.

Arti kasar dari dul kamid adalah sekedar menerima dan menyukuri apapun yang tersaji di hadapan saya..

Tidak perlu protes-protes
Tidak perlu tidak terima
Tidak perlu sakit hati

Karena semua harus diterima...APA ADANYA

Salam