Rabu, 24 Desember 2008

Ademe Ati

Suatu ketika kami, bertiga, santri-santri pilek sowan ke “dalem”-nya mbah sepuh. Dan seperti biasa beliau selalu menyambut kami dengan senyum ceria, antusias khas masyarakat jaman kemarin yang selalu menyajikan 3 “uh” di dalam kesederhanaan dan kesejukan rumah beliau. Gupuh, lungguh dan suguh adalah 3 uh yang selalu mbah putri ekspresikan dengan gaya khas Jawa . Ini yang “ngangeni” kami semua.

Malam itu setelah berbasa-basi dengan saling menceritakan kabar keluarga masing-masing mbah sepuh melontarkan sekaligus mengupas satu poin poin penting yang selalu menjadi bahan perenungan bagi kami bersama. “Ademe ati” begitu beliau membuka pembahasan dengan gaya agitasi yang sedikit banyak telah mewarnai kami dari mula hingga kini.

Rumus penting dari beliau adalah “Sing sopo wonge wani miyak (membuka, berbicara) tentang ademe ati, pasti wis pernah ngrasakne panase ati”. Sebuah kalimat yang sederhana dan logis, seperti biasa gampang dicerna sebagai sebuah hubungan kausalitas. Artinya, siapapun yang membicarakan tentang ketentraman hati (dingin hati), itu semua bisa terjadi karena dia pernah merasakan terhijab tabir gelap, panas hati, kufur.

Berarti para da’i dan kyai podium itu ngarang (begitu penegasan dalam hatiku ketika mendengar penjelasan itu). Mereka berbicara dengan meledak-ledak tentang segala soal yang terkait dengan ketentraman hati tetapi tidak diimbangi dengan pembahasan yang mendalam tentang panasnya hati. Harusnya balance ! Umat jangan hanya diiming-imingi ketentraman hati tanpa diurai mengapa hati bisa tentram mengapa hati bisa dingin. Bagaimana umat akan cerdas bila mereka hanya mendapat uraian tentang imini-iming sorga tanpa diiming-iming (diberi penjelasan) bahwa nerakanya Allah juga dingin bagi yang dikehendaki.

Ada banyak orang yang telah ditempatkan oleh Allah untuk berada di neraka namun tetap dingin. Dia merasa tidak kerasan di surga karena memang bukan tempatnya. Apakah orang macam ini tidak iman ? Wallhu alam iman…banget !

Ketika setan “Aba wastakbara” dengan tidak mau hormat takzim kepada Adam as beberapa ribu tahun silam, dia disabda oleh Allah untuk tinggal di neraka. Dan setan iman kepada Allah untuk tetap tinggal disana, dia tidak membandel dengan ingin masuk surga ataupun juga kemudian pingin bisa sholat, bersujud dan lain sebagainya sebagai pertanda keimanan orang awam. Dia nurut Allah, dia enjoy di neraka. Blas tidak ada niatan untuk tobat. Sudah menjadi tugas setan untuk menyeret manusia ke lembah dosa, kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah terhindar dari setan.

Nah, kadar keimanan si setan adalah perbuatan munkarnya, tidak ada setan yang taat beribadah seperti yang diharapkan oleh para ahli syariat. Sebab tugasnya, kewajibannya adalah berbuat munkar. Kalau setan tobat lalu iman seperti imannya para ahli syariat dunia akan miring, tidak imbang, sebab yang berbuat baik terlalu banyak.
Jadi antara setan dan ahli surga itu semacam dua sisi mata uang yang kemana-mana selalu kita tenteng. Menghadap manapun uang itu akan tetap laku. Kita mesti bersyukur biladi posisikan sebagai pemilik uang dan bukan sebagai salah satu sisi dari uang tersebut yang akan selalu berlawanan, tidak pernah merasakan tentram yang hakiki.

Oleh karena itu pembelajaran terhadap ajaran islam harus memandang dari dari segala sisi, kebaikan yang menjadi lawan kejahatan, panas hati yang menjadi lawan adem ati, selamanya akan tetap bermusuhan.

Para dai dan kyai podium baiknya mengupas barang yang nyata saja, bukan yang utopis seperti surga, neraka, jembatan sirotol mustakim dan hal-hal lain yang dapat membuai umat untuk berubah itikad, bisa-bisa menyesatkan.

Berbahagialah (barokallah ya rasulullah) bagi mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk bisa merasakan surga-Nya, neraka-Nya dan hatinya tetap netral, tawar, tidak terbebani euforia serta tidak merasa sedih dalam segala soal yang dihadapkan untuknya.

Meskipun itu juga utopis namun Allah telah berkehendak, telah menggariskan sesuatu dalam diri kita.

Tunggu saja hidayatullah…


Wallahu alam,
Kajang 14 Agustus 2008
13.50 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar