Kamis, 08 Januari 2009

Falsafah Lampu Senter

بِسْــــــــمِ اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ

Dalam kondisi lingkungan yang gelap, peran lampu senter sangatlah besar. Sorot sana sorot sini, baik untuk sekedar menerangi jalan yang akan dilalui agar tidak kesandung sampai mencari sesuatu yang diperlukan di tempat gelap tersebut. Yang jelas manfaat utama dari lampu senter adalah sebagai alat bantu penerang saat kita berada dalam kondisi gelap. Sebuah tugas mulia dari lampu senter.
Berbahagialah manusia yang memiliki sikap mental seperti lampu senter. Hakikinya, seseorang dengan kejiwaan lampu senter akan merelakan sebagian energinya terpakai (bahkan terkuras habis) untuk menerangi jalan orang yang membutuhkan. De facto, hal itu sangat jarang terjadi. Satu diantara seribu bahkan sejuta. Namun tetap diadakan oleh Allah demi keseimbangan dunia.
Ribuan nama telah terukir dalam lembaran sejarah dunia sebagai orang yang berjiwa lampu senter ini. Sebutlah para nabi dan rasul jaman dulu seperti Nabi Muhammad, Nabi Isa dan juga Sidharta Gautama. Juga nama-nama manusia modern semacam Anand Krishna, Emha Ainun Nadjib, Mohammad Sobary dan masih banyak lagi nama-nama lainnya. Mereka semua secara sadar atupun tidak sadar telah menjadi tuntunan bagi orang-orang yang menjadi pengikutnya, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka memiliki jiwa lampu senter yang menerangi ataupun mengarahkan pengikutnya ke jalan yang mereka yakini benar.
Mengapa dianalogikan dengan lampu senter ? Setidaknya terdapat empat bagian utama dalam lampu senter yang memiliki nilai filosofi. Dan masing-masing bagian bila dikaitkan dengan manusia sangat erat kaitannya. Keempatnya adalah : Rangka (badan wadak), bola lampu (pola pikir), kabel (panca indera) dan baterai (kalbu).
Badan
Rangka lampu senter bervariasi bahan dan warnanya. Hal ini senada dengan badan wadak manusia yang beraneka macam pula bahan dan warnanya. Secara garis besar rangka atau badan wadak berfungsi sebagai tempat atau wahana bagi berlangsungnya seluruh aktifitas anggota badan. Terjadi interaksi yang simultan dalam badan manusia.
Selain itu fungsi badan adalah sebagai pelindung organ-organ yang menempel padanya. Jika kita perhatikan terdapat kesamaan antara rangka lampu senter dengan badan manusia dalam hal sebagai pelindung organ. Rangka lampu senter melindungi kabe-kabel, bola lampu serta baterai yang berada di dalamnya. Sementara badan manusia melindungi organ-organ dalam dan organ-organ luarnya secara bersamaan.
Satu peran lagi yang dijalankan oleh badan kita adalah sebagai pemersatu seluruh organ yang ada di dalamnya. Demikian juga dengan rangka lampu senter. Men sana en corpore sano, begitu kalimat klasik menjelaskan pentingnya kondisi fisik yang prima dalam mendukung kesehatan jiwa manusia. Kalimat tersebut masih relevan hingga kini. Ya, tampilan fisik yang prima akan mengesankan kokohnya mental seseoarng, meskipun hal itu tidak dapat digeneralisir terhadap semua orang yang sehat badaniahnya. Artinya, tidak sedikit pula orang yang secara fisik terlihat lemah namun dikaruniai mental super baja.
Pola pikir
Banyak orang meyakini bahwa pemeran utama dalam lampu senter adalah bagian bola lampu. Namun ada jugayang berpendapat sebaliknya. Artinya, bola lampu bukanlah sebagai bagian yang paling vital dalam lampu senter. Penulis setuju dengan pernyataan kedua.
Bila diperhatikan secara seksama dan direnungkan lebih mendalam maka keberadaan bola lampu yang berfungsi sebagai alat pemancar cahaya sangat tergantung dari energi yang terkandung dalam baterai serta rangkaian kabel yang menghubungkan baterai dengan bola lampu tersebut. Dus, nyala bola lampu tersebut, mau terang atau setengah terang dan mbleret bahkan mati sangat tergantung dari primanya tenaga baterai serta lancarnya saluran yang menghubungkannya.
Lantas bagaimana pada diri manusia ? Penulis menyerupakannya dengan otak atau pola pikir manusia. Bersinarnya pola pikir yang biasa ditunjukkan dengan tingkat kecerdasan seseorang sangat tergantung dari sehatnya baterai (kalbu) dan teraturnya kabel (panca indera).
Kita bisa melihat fakta di sekitar kita bagaimana kecerdasan yang ditunjukkan oleh para kekasih Tuhan. Saat dimintai keterangan apa rahasianya sehingga pikirannya begitu encer maka jawabannya selalu mengerucut pada dua hal yaitu “jagalah hati, jangan kau kotori” dan “peliharalah matamu (dan panca inderamu) agar kau selamat”.
Mengapa hati harus selalu dijaga agar tidak kotor ? Sebab dari sanalah segala sesuatu berpangkal. Jika kita mempermaklumkan sebuah kesalahan kecil lalu mengulanginya lagi, dan lagi dan lagi, maka akumulasi dari kesalahan-kesalahan tersebut akan menjadikan kita bersikap biasa saat melakukan kesalahan. Tidak ada penyesalan dan tidak ada rasa berdosa. Akibatnya pandangan (mata hati - bashiroh) kita menjadi kabur dalam memandang sebuah persoalan, terjadi pencampur-adukan antara benar dan salah. Bukankan ini termasuk kategori kebodohan (tidak bersinarnya) pikiran kita?
Bagaimana dengan panca indera ? Kita dituntut untuk berhati-hati dalam menangkap setiap peristiwa yang terekam panca indera. Sekali salah dalam bersikap maka kebodohan akan menyelimuti kita. Taruhlah kita mempersepsikan sebuah pemandangan indah yang ditangkap oleh mata, maka berikanlah imbangan pemandangan yang sebaliknya (tidak indah) agar kita selalu ingat kepada yang menciptakan segala bentuk keindahan dan ketidakindahan itu. Sebab indah dan tidak hanyalah persepsi manusia. Segala ciptaan Tuhan adalah sempurna. Adalah kebodohan (keterbatasan) manusia yang kemudian mengkotak-kotakan mahakarya yang sempurna itu menjadi rendah nilainya.
Panca indera
Peran kabel tidak dapat dianggap remeh dalam lampu senter. Kabel merupakan wasilah (penyebab) menyalanya bola lampu seperti telah disebutkan sebelumnya. Permasalahannya adalah, Bagaimana mengelola (merencana dan mengendalikan) kabel tersebut sehingga nyala bola lampu bisa maksimal. Untuk itu diperlukan ilmu khusus yang berkaitan dengan teknis elektronika arus lemah.
Panca indera dalam diri manusia memiliki peran yang sama dengan kabel pada lampu senter. Keduanya sama-sama sebagai penghubung atau penyebab. Bedanya kalau kabel menyalakan bola lampu, sedangkan panca indera menjadi penghubung menyalanya otak (pikiran).
Mata, telinga, hidung, lidah dan kulit menjadi media penghubung antara otak dan kalbu. Contoh sederhana, saat telinga kita mendengar suara gamelan yang indah maka mekanisme dalam diri kita akan memerintahkan seluruh aktifitas badan untuk berhenti dan memperhatikan suara gamelan tadi. Begitu dirasakan di dalam hati bahwa suara gamelan tadi begitu indahnya maka akan muncul kesimpulan dalam pikiran (otak) kita dan selanjutnya memerintah seluruh anggota badan untuk selalu melakukan hal yang sama setiap kali mendengarkan suara musik gamelan.
Dari itu, panca indera yang berperan sebagai penghubung juga sekaligus sebagi filter terhadap segala hal yang akan masuk ke dalam diri kita. Diperlukan kehati-hatian dalam mengelola gerak tingkah laku panca indera. Sebab seringkali kesimpulannya salah akibat dari keinginannya yang selalu mengarah kepada hal-hal yang bersifat kesenangan sesaat dan kepuasan yang semu saja.
Qolbun
Otak bilang “aku adalah organ tubuh yang paling cerdas”
Hati menyahut “siapa yang bilang begitu padamu?“
Bicara soal baterai ingatan kita pasti langsung tertuju pada power (tenaga). Segala yang membutuhkan baterai selalu menghasilkan sesuatu sebagai transformasi dari tenaga yang tersimpan dalam baterai. Lampu senter dengan sinar bola lampunya, mobil-mobilan dengan gerakan maju mundurnya, atau kalkulator dengan hasil matematikanya. Ya, tenaga, sekali lagi tenaga.
Refleksi pada diri manusia baterai adalah kalbu, hati atau yang terdalam adalah nurani yang sejatinya bercahanya terang menyilaukan. Dalam kalbu tersimpan “rasa” yang oleh Pembuatnya diperintahkan untuk selalu mendorong manusia melakukan kebaikan sesuai dengan sifat-sifat-Nya.
Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa dalam diri manusia terdapat satu bagian yang bila dia baik maka baik pulalah seluruh bagian yang lain, dan jika bagian itu rusak maka rusak pulalah bagian yang lain. Bagian itu adalah hati (kalbu).
Atau juga kalimat seorang bijak yang menyatakan “dosa adalah segala sesuatu yang membuat hatimu ragu”. Mengapa demikian ? Sebab pada dasarnya cetakan hati manusia itu seratus persen berisi kebaikan, sehingga saat hati diliputi keraguan saja sudah mewakili kemungkinan dosa yang akan dibuat. Dan yang perlu diingat, hati tidak pernah keliru, yang sering keliru adalah panca indera (pada lampu senter yang sering bikin bola lampunya tidak menyala adalah kabelnya korsleting atau kabelnya putus !).
Seperti juga baterai yang bisa kehabisan power, demikian juga dengan kalbu. Kalbu yang sudah mulai melemah tidak akan mampu memberikan tenaga yang cukup untuk menyalakan pikiran yang terang dan jernih, tidak akan cukup untuk menerangi jalan yang akan dilalui. Sehingga dengan kalbu yang mbleret, besar kemungkinan kita akan salah jalan, tersesat bahkan masuk jurang. Lalu, bagaimana mengatasinya?
Kalau cara tradisional baterai yang soak bisa bertenaga lagi dengan dijemur di bawah terik matahari. Kalbu yang soak juga demikian, jemur saja di bawah matahari (dalam hal ini matahari bisa diartikan sebagai orang yang berilmu tauhid, bisa kyai, ustad, pendeta, bikhu atau orang suci lainnya). Terima dan serap energi yang dipancarkan oleh mereka yang suci itu agar tenaga kalbu kita pulih sehingga dapat menyalakan kembali bola pikir kita.
Sinergi
Yang diperlukan agar lampu senter menyala dengan baik dan tahan lama adalah sinergi dari keempat unsur yang telah dijabarkan di atas. Tidak ada yang paling penting ataupun tidak penting dari keempatnya. Keempatnya saling membutuhkan dan bila salah satu tidak ada atau tidak sempurna kondisinya maka kualitas lampu senter secara otomatis terpengaruh atau bahkan mati.
Demikian juga dengan manusia. Harus tercipta sebuah keseimbangan antara badan wadak, panca indera, otak dan kalbu. Kita harus adil mengelola keempat unsur tersebut. Jangan sampai hanya memfokuskan perhatian kita pada salah satu unsur saja yang dapat berakibat pada menurunnya derajat kemanusiaan kita.
Wallahu a’lam

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


katur dumateng mbah Taman,
menawi kathah ingkang dereng pas
kawula namung dul kamid ingkang
sarwa fakir,

nuwun,
malang, 19 agustus 2007
02:15 wib

Komedi Sahur

Aksi kocak Tukul Arwana, Eko Patrio, Ulfa Dwiyanti dan sejumlah komedian papan atas Indonesia lainnya mengakrabi layar kaca kita selama sebulan penuh dalam ramadhan yang suci ini. Tak dapat dimungkiri bahwa unsur komedi selalu menjadi andalan bagi setiap stasiun televisi di tanah air dalam menyedot pemirsanya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, pantaskah dalam bulan yang – katanya – penuh barokah ini justru stasiun televisi kita berlomba-lomba menayangkan banyolan yang seringkali mengarah ke dalam kekurangan fisik seseorang?. Dan yang lebih memprihatinkan, tayangan tersebut sengaja diudarakan bertepatan dengan jam makan sahur. Inikah interpretasi dari kalimat klasik fastabikul khairat menurut versi pengelola televisi Indonesia?
“Iya iku wong kang padha sabar ngelakoni taat lan ngedohi maksiat, kang padha tumemen imane, kang padha ngabekti, kang padha ahli sodaqoh, tur kang ahli istighfar ing dalem wektu tengah wengi” ( QS. Ali Imron:17, tafsir Al-Ibris). Ayat di atas merupakan kelanjutan dari ayat 15 dan 16 yang merupakan penjelasan Allah kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu yang akan membawa kebaikan hidup manusia, dan salah satunya adalah orang yang ahli istighfar di waktu tengah malam.
Waktu sahur yang berkisar antara tengah malam sampai imsak (sekitar 10 menit sebelum adzan subuh) adalah saat yang tepat untuk memperbanyak istighfar agar senantiasa membawa kita kepada kebaikan hidup. Sehingga secara tegas kita bisa menarik garis batas bahwa program-program televisi, meskipun mengatasnamakan ramadhan, yang ditayangkan bertepatan dengan saat sahur merupakan pengingkaran dari nukilan ayat di atas. Apalagi menampilkan komedian yang segala tingkah lakunya dikondisikan untuk mengundang tawa, bahkan berpotensi sampai lepas kendali (tertawa dengan keras).
Hilangnya figur panutan?
Menarik untuk diteliti lebih mendalam adalah fenomena meroketnya peran komedian dalam program-program ramadhan. Padahal semestinya wilayah ini menjadi milik (kewajiban) para ulama. Fakta ini bisa berarti dua hal.
Pertama, kemasan dakwah yang tidak menarik. De facto, ceramah-ceramah siraman ruhani yang selama ini disampaikan justru membuat umat ketakutan dengan deskripsi rambu-rambu syariat yang diakhiri dengan ancaman api neraka. Umat berharap tausiyah dapat berlangsung ringan tanpa ancaman neraka. Meskipun sulit dilakukan tapi celah itu ada dan bisa dimasuki. Sebutlah KH. Zainudin MZ yang sekali waktu menyelipkan kalimat kocaknya, atau juga Aa’ Gym yang terasa ringan dalam menyampaikan pesan-pesan moral, bahkan beliaulah yang rasanya menasionalkan do’a dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, tidak banyak ulama yang memiliki kemampuan seperti dua nama tersebut.
Kedua, hilangnya figur panutan yang didambakan dapat mengatasi segala persoalan. Siapapun tahu siapa yang ditirukan oleh Kiwil dan Aa’ Jimi. Masyarakat muslim begitu berharap bahwa dua tokoh yang diparodikan oleh Kiwil & Aa’ Jimi tersebut dapat berlaku sempurna. Mereka lupa bahwa ulama juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Bahkan tingkat godaannya cenderung lebih kompleks dibandingkan manusia yang biasa berperan sebagai umat. Ekspektasi yang tinggi tersebut akan berakhir pada kekecewaan begitu mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Dua penjelasan di atas rasanya sudah cukup untuk menjadi alasan, mengapa peran komedian justru lebih menonjol bila dibandingkan dengan ulama pada tayangan-tayangan televisi kita di bulan ramadhan. Belum lagi ditambah dengan himpitan hidup yang semakin berat, rasanya masuk akal bila masyarakat mencari penawar stres, obat yang secara instan dapat menurunkan derajat ketegangan dawai-dawai emosi.
Fizzamani
Sering diartikan dalam bahasa Jawa dengan wis jamane atau sudah kaprah terjadi di jaman ini. Sebuah kesalahan yang kemudian diterima oleh masyarakat sebagai hal yang biasa sehingga terlihat bukan sebagai kesalahan. Dalam hal ini, menjamurnya tayangan komedi pada jam sahur jelas-jelas sebuah fenomena kesalahan berjamaah. Kesalahannya terletak pada upaya mendorong pemirsa muslim untuk menonton tayangan komedi yang mereka tawarkan. Pada saat yang sama, semestinya pemirsa muslim tersebut bisa meraih kebaikan hidup dengan memperbanyak istighfar. Sehingga, meskipun masyarakat kita secara general menerima tayangan tersebut, tidak berarti hal itu benar. Justru ini berbahaya, apalagi melibatkan media massal televisi dengan audio-visualnya yang sarat dengan kepentingan penumpukan kapital.
Telah menjadi rahasia umum bahwa siapapun yang bisa menggaet komedian yang sedang naik daun untuk program sahurnya, dapat dipastikan rating-nya akan langsung terkatrol. Rating yang tinggi akan mendorong membanjirnya iklan. Dan iklan, siapapun tahu, berarti mengalirnya rupiah dalam kantong stasiun televisi, bisa jutaan bahkan miliaran.
Patut dipertanyakan komitmen pemegang kebijakan yang mayoritas muslim yang telah membiarkan kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Atau barangkali beliau terlalu sibuk memikirkan urusan lain yang lebih penting. Atau barangkali beliau belum pernah ketemu dengan nukilan QS. Ali Imron di atas. Atau, jangan-jangan beliau justru sangat menikmati tayangan komedi sahur layaknya pemirsa televisi lainnya. Dan, adalah ketetapan Allah saja yang mengijinkan terjadinya komersialisasi ramadhan. Sekali lagi fizzamani.

DUNIA KAMID

Pagi itu Kamid terbangun dari tidurnya dengan kondisi badan segar bugar. Seperti biasa dia langsung membuka jendela kamarnya yang selalu berbunyi “kriet…kriet” setiap kali di buka atau ditutup. Perasaannya agak aneh pagi itu, sebab bunyi yang mengakrabinya setiap pagi tidak terdengar lagi. Matanya terbelalak begitu menyaksikan halaman rumahnya menjadi lain dari biasanya.
Kamid mendapati halaman rumahnya berubah menjadi taman yang demikian indahnya. Taman yang sering dia lihat di sinetron tv di rumah pak RT. Halamannya begitu luas dengan rumput golf sebagai dasarnya. Sementara itu, bunga-bunga yang menghiasi pun bunga-bunga mahal. Kualitas impor lah pokoknya. Mulai dari gelombang cinta, jenmani, ephorbia hingga jajaran anggrek bulan berbunga lebar.
Kamid juga memperhatikan tanaman buah-buahan berjajar rapi di pinggir taman. Mangga harum manis meneduhi 1 set kursi taman berwarna putih bersih dengan buahnya yang bergelantungan menggoda. Batang tanaman anggur menjalar rapi di atas 2 mobil mewah di samping kolam mini yang berisi ikan koi yang berkeliaran dengan indahnya. Belum lagi buah delima yang terlihat sudah merekah tanda siap dimakan menghiasi dahan-dahannya. Kamid bertambah bingung, ada apa dengan rumahku.
Dengan rasa penasaran yang menyelimuti hati, Kamid lalu membalikkan badannya. Hampir saja dia pingsan menyaksikan ruang kamarnya bak kamar hotel bintang lima. Tempat tidur dobel dengan bed cover tebal dan kasur busa. Pelan-pelan Kamid memegangnya, empuk sekali. Di sudut kamar ada wastafel lengkap dengan handuk putih bersih menggantung rapi di sisinya. Dia berjalan menghampiri wastafel tersebut lalu cuci muka, khawatir itu semua cuma mimpi.
Puas dengan cuci muka Kamid memejamkan matanya dan membukanya pelan-pelan. Dengan harap-harap cemas dia buka matanya satu demi satu, lalu bertambah heranlah dia sebab di ujung bawah tempat tidurnya terpasang rapi sebuah tv berukuran…berapa ya, Kamid nggak ngerti ukuran tv, yang jelas jauh leih besar dari punya pak RT. Antara 4 atau 5 kali lebih besar. Kamid lalu mencoba menyalakan tv itu. Begitu menyala Kamid terbengong-bengong menyaksikan sebuah acara tv yang dia belum pernah saksikan sebelumnya. Terlihat dengan jelas adegan suami istri yang sedang berguling-guling di atas tempat tidur, dan kedua pemainnya telanjang bulat. Lalu datang seorang laki-laki masuk ke kamar tempat dua orang tersebut bercinta. Dari percakapan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Kamid paham kalau laki-laki terakhir yang datang itu adalah suami wanita yang berguling-guling tadi. Laki-laki itu tidak tampak marah, justru meminta laki-laki yang meniduri istrinya untuk memanggil istrinya di rumah. Tidak berapa lama, datanglah istri laki-laki pertama tadi lalu diserahkan ke suami dari wanita yang telah ditidurinya. Lalu terjadilah pemandangan yang belum pernah terbayang oleh Kamid. Dua pasang suami istri saling bertukar pasangan dan melakukan adegan percintaan bersama-sama dalam satu kamar. Kamid jijik, bagi dia adegan percintaan itu hanya pantas dilakukan dengan rahasia dan hanya dengan istrinya saja.
Kamid memindah saluran tv-nya. Lagi-lagi Kamid dibuat deg-degan dengan tayangan yang tersaji di tv-nya. Dia melihat 2 orang dalam satu tempat persegi delapan dengan jeruji besi menjadi batas-batasnya. Mereka berdua saling memukul, menendang, membanting dengan sesekali terdengar teriakan kesakitan diantara keduanya. Aneh, mereka lagi apa ya..? Mestinya sesama manusia itu rukun dan selalu bersilaturahmi seperti yang selalu disampaikan oleh pak ustad beristri dua itu. Kamid jadi berkesimpulan mungkin ini yang dimaksud ustad supaya menjaga emosi dan jangan gampang marah. Jangan-jangan karena nggak gampang marah itu pak ustad bisa beristri dua. Kamid tambah jijik lalu mematikan tv-nya dan memutuskan untuk keluar kamar.
Pintu kamar dia buka dan matanya hampir copot menyaksikan perabotan yang berada di ruang tamunya. Kemana perginya kursi bambu yang penuh kutu busuk itu. Kemana perginya vas bunga tanah liat yang sudah diselotip lehernya karena berulang kali jatuh. Kemana perginya gambar lusuh pak bung Karno satu-satunya warisan ayahnya yang telah wafat 20 tahun silam. Semua telah hilang tergantikan oleh perabotan yang serba mewah.
Kamid lalu menghampiri kursi panjang warna krem, dia pegangi permukaannya. Sepertinya dari kulit, lalu dia tekan-tekan, wah sayang kalau diduduki nanti rusak. Tapi nggak apa-apa lah dicoba dulu. Lalu Kamid meletakkan pantatnya di kursi panjang itu dengan hati-hati sambil menahan napas. Wah wah wah, serasa di awang-awang, nyaman sekali. Kemudian Kamid mengangkat kakinya dan menyelonjorkannya sahingga dia rebahan di atas kursi panjang itu. Kalau bukan mimpi apa namanya ini ya?
Kamid bangun dari rebahan lalu duduk lagi dan matanya mengamati sekitar ruang tamunya. Pintu rumahnya berwarna putih setinggi 4 meteran dengan dua daun pintu yang terlihat kokoh. Di sebelah kanan pintu sebuah patung singa menghiasi ruang tamu luasnya. Di dinding menempel 1 lukisan besar bergambar dia dan istrinya mengapit Nurdin, anak semata wayangnya. Dia perhatikan lukisan itu, bagus sekali. Lalu dia eja tulisan di pojok kanan bawah lukisan itu “Long life Mr. Kamid - Indonesia” lalu ada tanda tangan dan di bawahnya masih ada beberapa huruf lagi “Picasso”. Kamid nggak ngerti arti tulisan-tulisan itu. Dia hanya tahu namanya dan nama negaranya tertulis di lukisan itu.
Di dekat pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga Kamid dapati beberapa guci “made in china” menghias rapi. Bagus-bagus bentuknya, namun bagi Kamid guci-guci itu bisa untuk nampung air di siang hari, sebab daerah Kamid mendapat jatah air hanya di malam hari. Itupun cuma antara jam 6 sampai jam 8, habis itu mati lagi sampai besoknya.
Kamid lalu menyadari bahwa di bawah 1 set meja kursi yang berada di ruang tamu didapatinya karpet tebal berukuran 6 X 6 meter terhampar rapi. Kamid mengingat-ingat dimana dia pernah melihat karpet setebal itu. Aha, ya ya, waktu dia kemalaman di rumah pak lurah untuk ngurus surat keterangan tidak mampu untuk keringanan biaya sekolah Nurdin. Dia numpang sholat dan dia melihat ada karpet tebal menghiasi ruang sholat rumah pak lurah. Hanya saja pak lurah waktu itu berpesan supaya sholatnya pake sajadah yang di bagian belakang saja, soalnya yang di depan, yang tebal itu milik pribadi pak lurah dan tidak boleh ditempati siapapun.
Puas memandangi kondisi ruang tamunya, Kamid yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi. Ah memang nyaman menjadi orang kaya, semua serba enak ditempati. Kamid beranjak dari tempat duduknya dan menuju pintu depan lalu membukanya. Saat pintu terbuka Kamid kaget bukan kepalang “byur..!” Badan Kamid basah kuyub. Lamat-lamat dia dengar suara yang sangat akrab di telinganya,
“Bangun Kang, berasnya habis, gula dan kopimu udah gak ada 3 hari ini, kayu bakarnya gak cukup, Nurdin minta uang sekolah, kemarin pak kepala nagih, Kang Jamin akan menyita gubuk kita kalau sampai minggu depan kita nggak bisa lunasi utang kita. Kalau kakang molor mulu kapan kita punya duit dan bisa hidup tenang kang ?” Teriak Minah, istrinya, yang sengaja membangunkan Kamid dengan siraman 1 ember air.
“Kalau mau tenang ya tidur aja” gerutu Kamid sambil perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur bambunya.

Omong dan Amal

Cukup mengagetkan membaca tulisan Gus Dur di harian Sindo beberapa hari lalu mengenai dinamika diskusi antara beliau dengan beberapa elemen fundamentalis. Sampai-sampai beliau meyatakan bahwa pihak kurawa dalam pewayangan adalah pahlawan yang belum mendapatkan pencerahan. Adalah persoalan yang penting sehingga Gus Dur sampai berniat memaparkan kembali gagasannya tentang islam sebagai komplementer atau alternatif. Dan pastilah terjadi proses diskusi yang seru meskipun penulis tidak terlibat langsung. Golongan fundamentalis dengan jalur lurusnya pasti sering dipaksa bereaksi oleh pernyataan-pernyataan Gus Dur yang kita tahu seringkali terkesan “seenaknya” bahkan “menjengkelkan”.
Omong
Pada saat memulai sebuah diskusi, tentang apapun itu, landasan yang harus dipijak secara kokoh dan bersama oleh peserta diskusi adalah penghargaan terhadap perbedaan. Sehingga tidak boleh ada pemaksaan sebuah ide terhadap peserta lainnya. Hal ini perlu disadari melihat fakta riuhnya sebuah diskusi di media televisi yang disaksikan (terkadang langsung) oleh jutaan pemirsa.
Para pelaku diskusi, biasanya ahli-ahli di bidang tertentu, selalu mempertahankan idenya dan selalu berusaha memasukkan pandangannya kepada lawan diskusinya. Seakan sebuah perang fisik yang mengharuskan salah satu pesertanya kalah bahkan mati. Hingga segala cara dilakukan sampai lawan diskusinya pun merasa harus melakukan hal yang sama untuk mempertahankan posisinya. Belum lagi kalimat-kalimat pancingan dari moderator atau presenter yang dibayar mahal untuk membuat suasana bertambah menarik (panas).
Hilangnya logika berpikir jernih telah jamak terlihat saat salah seorang peserta diskusi merasa dirinya tersudut. Komentar dan tanggapan yang disampaikan pun tidak jarang terdengar aneh bahkan menyimpang jauh dari tema dasar. Diskusi berubah menjadi sebuah forum pembelejetan borok orang lain. Dan lucunya, mereka bangga telah melakukannya, merasa telah berbuat baik untuk orang banyak (golongan yang diwakilinya).
Amal
Man ‘alimu wa ‘amilu ‘alamallahu maalam ya’lam. Kalimat klasik namun tetap relevan hingga saat ini. Sudah ratusan kali kita mendengarkan kalimat tersebut pada berbagai forum pengajian dan juga tulisan di buku-buku yang mengangkat tema pentingnya ilmu dan amal. Namun tidak ada salahnya bila kita merenungkannya kembali agar dapat menambah mantap keyakinan kita.
Siapapun tahu bahwa amal tanpa ilmu kesasar. Dan ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Sehingga sekian ulama mengulang-ulang terjemah dari nukilan di atas “sesiapa yang berilmu (meskipun sedikit), kemudian mengamalkannya, maka Allah akan menambah ilmu orang itu secara kontinyu dan selanjutnya (seakan-akan) dia menguasainya tanpa perlu belajar lagi”.
Kecenderungan untuk berbicara, menyampaikan pendapat atau diskusi bukan perkara negatif. Namun harus diingat bahwa ber-islam adalah soal ber-amal dan bukan soal berdiskusi. Penulis ingat 10 tahun lalu pernah diguyur dengan ribuan bahkan jutaan kalimat mutiara oleh mBah kyai sepuh, salah satunya adalah “Sing sopo wonge ngomong berarti gak ngamal, sebab ngamal iku gak oleh ngomong” (siapapun yang berbicara berarti tidak bekerja, sebab bekerja itu tidak boleh bicara). Beliau melanjutkan paparannya dengan mencontohkan sholat. Bagaimana seseorang dikatakan sholat sedangkan dia sibuk berbicara, padahal dalam sholat tidak boleh ngomong selain bacaan sholat. Berarti orang yang ngomong itu tidak sholat, sebab kalau sholat pasti tidak ngomong. Hadirin gerr… seketika.
Menahan untuk tidak ngomong dan lebih mementingkan ber-amal memang bukan perkara mudah. Sebab mayoritas kita suka bercerita, menceritakan segala hal, termasuk bercerita pengalaman kita dalam ber-islam. Semangat awalnya adalah sharing, lalu membandingkan pengalaman kita dengan lawan bicara kita bahkan bisa berakhir pada kebanggaan semu karena merasa yang sudah kita bicarakan bisa masuk di kepala lawan bicara kita itu. Padalah bila mau merenungkannya lebih dalam, kebanggaan seperti itu biasanya memiki sisi tajam yang dapat menghunjam ke arah kita sendiri.
Amal, amal dan amal. Kurangi bahkan hilangkan kebiasaan ngomong berlebihan, apalagi tentang ber-islam. Sebab hasil sebuah peng-amalan bisa berbeda jauh antara satu orang dengan yang lainnya. Taruhlah bacaan Al-Fatihah. Kita tahu itu multifungsi, diyakini bisa memberikan manfaat apa saja bagi sesiapa yang membacanya. Satu orang dalam kondisi minta perlindungan Allah karena dalam bahaya, baca Al-Fatifah. Satunya lagi berhajat makan pagi, dengan maksud agar barokah dan tidak tersedak, juga membaca Al-Fatihah. Jadi, Beberapa hajat yang berbeda dapat diselesaikan cukup dengan satu peng-amalan saja.
Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut keyakinan yang lebih mendalam. Banyak hal yang kemudian tidak bisa begitu saja diceritakan kepada orang lain mengingat kerahasiaan (sirri) yang terkandung di dalamnya. Mulai dari pengalaman spiritual yang sederhana sampai perjumpaan dengan Rasulullah SAW lewat mimpi. Sehingga, intinya adalah amal, amal dan sekali lagi amal. Kalau banyak omong pastilah amalnya sedikit atau tidak beramal sama sekali.
Dengan demikian, idealnya Gus Dur tidak perlu meyakinkan elemen fundamentalis dengan berbagai keterangan yang sebenarnya sangat mencerahkan tersebut. “Innal huda hudallah” , bila Allah menganugerahkan hidayah kepada mereka, tanpa dijelaskan begitupun mereka pasti akan tercerahkan. Kebenaran yang dipegang oleh Gus Dur dan ditandingi oleh kebenaran oleh elemen fundamentalis, akan menjadi debat kusir yang tidak ada habisnya. Apalagi sampai menyangkut nama golongan.
“Mereka lupa Gus, bahwa Allah itu maha sendiri, tidak punya takut. Nggak seperti mereka yang selalu mengaku pasrah kepada Allah tetapi lebih memilih berkelompok untuk menutupi ketakutan mereka yang tanpa alasan. Padahal dengan berkelompok mereka telah mengakui adanya kekuatan selain Allah. Hayo siapa yang mau bergabung dengan golongan itu ?”

RENUNGAN MAULID, (ABDULLAH + AMINAH) = MUHAMMAD SAW

“Lan ngajak-ajak ngestokake parentahing Allah kelawan keparenging Allah. Lan minangka obor kang madhangi ana dalaning Allah” (QS. Al Ahzab: 46)

Petikan ayat di atas memiliki arti kurang lebih “Dan atas ijin Allah Muhammad mengajak manusia untuk melaksanakan perintah-Nya. Sehingga Muhammad layaknya obor (penerang) yang menerangi manusia menuju ke jalan Allah”.
Sebagai umat Islam kita layak bersyukur atas kehadiran Rasulullah Muhammad SAW. Sebab, seperti yang telah tertulis dalam ayat di atas, Rasul mengajak dan membimbing umatnya ke jalan yang dikehendaki Allah ta’ala. Sebuah kesadaran luar biasa telah membangkitkan Muhammad SAW sehingga ditunjuk oleh Allah sebagai panutan umat manusia.
Kita perlu buka lembaran sejarah kelahiran fisik Muhammad SAW sebagai upaya untuk mempertebal derajat keimanan kita sekaligus sebagai cermin bagi kita bahwasanya segala sesuatu di muka bumi ini hanyalah milik Allah, tiada kekuatan lain selain Allah.
Muhammad SAW lahir dari sebuah keluarga miskin tetapi dari keturunan yang mulia. Rasulullah SAW pernah bersabda “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari putra Ismail, memilih Qureisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Qureisy dan memilih diriku dari Bani Hasyim” (Ghazali:2003).
Ayahnya bernama Abdullah, seorang putra penguasa Mekkah bernama Abdul Mutholib yang tidak menurunkan kekuasaan ke anak-cucunya karena posisi pesaing yang semakin menguat. Abdullah adalah anak bungsu kesayangan ayahnya. Pada usia yang relatif muda Abdullah dinikahkan dengan Aminah binti Wahb, setelah prosesi pernikahan pasangan muda ini dilepas untuk mencari penghidupan sendiri. Dalam keadaan pengantin baru, Abdullah meninggalkan keluarganya untuk merantau mencari rizki.
Sampai pada suatu ketika Abdullah wafat dalam usia 25 tahun saat diutus oleh ayah beliau membeli cadangan makanan.di Syam. Saat itu Muhammad SAW masih dalam kandungan ibunya.
Abdullah
Itu adalah kisah Abdullah, ayah Muhammad SAW. Sisi lain yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan renungan adalah nama ayah Muhammad SAW, Abdullah. Kata Abdullah sendiri secara sederhana bermakna Abdi Allah.
Abdi adalah orang bawahan, pelayan, hamba (Kamus Besar bahasa Indonesia :2003). Artinya, seseorang disebut abdi jika dia berperan sebagai bawahan atau pelayan dan juga hamba. Tugas seorang bawahan adalah melayani majikan atau tuannya. Dan dia berada dalam kekuasaan penuh tuannya.
Seorang abdi tidak punya kuasa meskipun hanya sedikit atas segala hal termasuk atas dirinya sekalipun. Hidup dan seluruh aktifitas hidupnya adalah milik tuannya.
Pesannya jelas, dalam kata Abdi Allah (Abdullah), tuan atau penguasanya adalah Allah, sehingga seorang Abdi Allah akan mengabdikan dirinya secara total melayani segala perintah Allah serta tidak melanggar larangan Allah.
Aminah
Nama ibu Muhammad SAW adalah Aminah. Aminah atau amanah memiliki arti dapat dipercaya atau setia (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 2003). Jadi, seseorang disebut amanah ketika dia dapat dipercaya dan setia kepada orang yang memberinya kepercayaan serta tidak memanfaatkan kepercayaan orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kehidupan modern ini, perilaku amanah merupakan barang langka. Manusia cenderung mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan amanah hidup di dunia yang dianugerahkan oleh Allah.
Amanah hidup, apa itu?
Pertama mengabdi kepada Allah dengan cara menjalankan segala ketentuan dari-Nya (QS. Adz-Dzariyat :56)
Kedua, menurunkan keturunan yang memberikan manfaat positif bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.
Ketiga, memayu hayuning bawana atau berusaha sekuat tenaga untuk mempercantik wajah dunia tempat tinggal kita secara fisik dan non fisik.
Lahirnya Muhammad SAW
Kelahiran fisik Muhammad SAW yang selalu diperingati secara rutin oleh umat Islam setiap tahun hendaknya dijadikan sebagai satu sarana refleksi bahwa kesuksesan itu adalah “kristalisasi keringat”, buah dari kerja keras. Maulid Nabi Muhammad SAW jangan dipakai sebagai ajang menghamburkan uang dan materi lainnya.
Kita harus bisa mengambil pelajaran dari Firman-Nya dalam surat Al Mu’minuun : 115 yang menyebutkan “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia tanpa hikmah dan tanggung jawab? Dan bahwa kamu semuanya tidak dikembalikan kepada Kami?” Allah menyampaikan pesan bahwasanya tidak ada ciptaan-Nya yang sia-sia dan tanpa hikmah, seremeh dan serendah apapun pandangan manusia terhadap ciptaan itu. Dan itu berlaku universal, termasuk terhadap nama orang tua Muhammad SAW.
Bila dicermati lebih dalam, kita akan menemukan sebuah pesan mulia dari gabungan nama kedua orang tua Muhammad SAW. Bukan sebuah kebetulan nama beliau berdua adalah Abdullah dan Aminah. Sebab dengan nama itu, secara tersirat Allah telah “membocorkan” rahasia-Nya kepada kita untuk selalu menjadi Abdullah dan senantiasa menjaga Amanah (aminah) agar jalan terang penuh keselamatan terbentang di hadapan kita.

Wallahua’lam bishawab.

SORBAN

“Bapak itu ustad ya?” Demikian Tanya anak pertamaku yang Juli ini masuk SD.
“Hem ?” tanyaku memastikan.
“Bapak itu ustad ya, kok punya itu ?” dia mengulangi pertanyaannya sambil tangan kirinya menunjuk ke arah selembar kain berwarna kombinasi putih dan hijau dengan rumbai rumbai menghiasi tepiannya. Orang sering menyebutnya dengan sorban, surban atau serban.
“Bukan nak, bapak bukan ustad” kataku menjelaskan padanya, lalu aku lanjutkan “Semua orang boleh punya itu selagi ingin, itu diberi mbah kungmu yang tahun lalu naik haji ke Mekkah, jadi orang yang punya atau memakai itu tidak selalu ustad, ngerti ya ?”
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk ringan dan matanya masih menunjukkan bahwa dia belum puas dengan jawabanku.
Aku bisa memahami kebingungannya, sebab dalam tayangan televis, ustad, pak haji atau siapapun yang dipersonalisasikan sebagai orang suci sering dia dapati mengenakan sorban sebagai asesoris yang dikalungkan di leher. Aku sendiri tidak paham bagaimana awal mulanya, yang jelas aku pun sempat berpikiran seperti anakku. Bahwa seseorang yang mengenakan sorban adalah “holy man”
******************************
Islam artifisial, orang pintar sering menyebutnya demikian untuk orang yang berperilaku sebagai orang suci, atau juga orang yang memakai asesoris sebagai orang yang suci. Banyak hal dilakukan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. Sorban, peci putih, jenggot, gamis, tasbih, celana panjang yang ditekuk dll. Semua itu adalah artifisial, kulit belaka.
Sedangkal itukah islam dalam memperlihatkan dirinya. Namun sadar atau tidak kita seringkali terjebak dalam pola semacam itu. Menunduk, merendah di hadapan orang berpeci putih dan bersorban lalu di tangan kanannya memutar tasbih tanpa kita tahu sedang membaca (merapal) apa.
Yah, tetapi memang demikianlah adanya kita di jaman ini. Sering tertipu oleh penampilan fisik seseorang. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dikandung oleh seseorang dalam hatinya. Asal luarnya memperlihatkan kebaikan kita pasti akan sedemikian menghormatinya. Padahal banyak kasus kejahatan dilakukan oleh orang yang luarnya tampak manis namun sejatinya buruk dalam hatinya.
Siapa yang harus dipersalahkan dalam hal ini ?
Pendidikan kita, orang tua kita, para ulama kita, pemerintah ?
Nampaknya semua berpulang pada diri kita masing-masing.
Salah satu penyakit hati paling parah yang melanda umat islam adalah ketidakjujuran. Sederhana dan sangat mudah penangkal itu semua. Ya, all we have to do is “JUJUR”.
Sulitkah ?
Coba saja, rasanya sesak di dada tapi jika kita membiasakannya rasanya tidak ada yang tidak mungkin. Memang diperlukan keberanian yang sangat tinggi untuk berlaku jujur. Tapi, dengan perilaku jujur yang diawali dari masing-masing individu, maka akan memicu perilaku jujur pada kawasan yang lebih luas, kepada keluarga, lingkungan sekitar rumah, laingkungan se kampung, lingkungan se kabupaten, lingkungan se propinsi, se antero negara dan lalu seluruh jagad akan terpengaruh untuk menjadi jujur juga.
Teori yang mudah dan praktek yang susah. Tapi, gak ada salahnya mulai dilakukan, bukan ?

SOPAN

Sopan diartikan sebagai perilaku hormat, takzim dan atau juga menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung. Ada kesan merendahkan diri dalam kalimat sopan, dan tidak menjadi persoalan bagi orang yang memang berniat sopan kepada orang lain untuk merendahkan dirinya.

Kepada Allah? Bagaimana cara sopan kepada Allah. Sebab sejauh ini sadar ataupun tidak perilaku kita sering tidak sopan kepada Allah. Mengapa ? Sebab dalam beragama kita lebih sering menempatkan diri kita dalam tataran sosial dan bukan pada tataran tauhid sejati.

Tauhid sejati, apa itu ? Hanya mengakui kekuasaan Allah atas diri kita serta makhluk-makhluk lain di jagad ini. Yang harus digarisbawahi adalah kata “kuasa”. Kuasa atas dunia, kuasa atas harta benda, kekuasaan dan lain-lain adalah kuasa semu yang menipu mata manusia sehingga “bashiroh” kita tidak bisa melihat yang sesungguhnya harus terlihat.

Begitu kita mengenal seseorang yang memiliki kuasa atas dunia lebih dari orang lain di sekitarnya maka perlakuan kita terhadapnya akan berbeda dengan perlakuan kita terhadap orang selain dia. Ini penyakit ! Menyebabkan pandangan mata hati kita kabur. Ini tidak tauhid, sebab secara tidak langsung kita mengakui adanya “kuasa” lain selain Allah. Inilah pangkal ketidaksopanan kita kepada Allah.

Lalu, kita juga sering mempersamakan perlakuan kita kepada Allah dengan perlakuan kita kepada manusia atau makhluk lainnya. Misalnya kepada manusia yang menurut kita memiliki derajat lebih tinggi daripada kita bahkan orang yang sangat biasa. Bahkan kita pernah persamakan Allah dengan calon konsumen (pembeli) barang dagangan yang kita jual. Misalnya saat sholat. Sering kita memaksakan diri untuk khusyu’ agar supaya sholat kita diterima. Padahal justru khusyu’ itu bisa terjadi (kita alami) jika Allah memberikannya kepada kita. Jadi khusyu’ bukanlah milik kita yang bisa dipersembahkan kepada Allah, sebab khusyu’ adalah milik Allah. Kita hanya sekedar diiming-imingi perasaan dekat dengan Allah yang super tenang saat dianugerahi kekhusyu’an yang seringkali hanya beberapa detik saja. Bagi yang bisa berpikir, bila beberapa detik saja sudah sedemikian tenangnya apalagi lebih lama. Allah memberikan khusyu’ agar kita sering kangen sholat, seperti kangennya kita pada “hayataddunya” yang sering memabukkan.

Do’a

“Afdholu du’a Alhamdulillaah…” Demikian hadits Rasulullah. Ini menjelaskan bahwa do’a yang paling afdol (mustajab) adalah pujian kepada Allah. Karena segala sifat yang terpuji memang hak Allah, bukan yang lainnya. Munculnya sederet permohonan dari manusia kepada Allah disebabkan adanya pengaruh budaya istana (kerajaan) yang menempatkan seorang raja sebagai orang yang sangat mulia, yang mendapat mandat dari Allah untuk memimpin umat manusia.

Jamak kita jumpai seseorang menyebut Allah dengan sebutan Yang Mulia, Tuanku dan sejenisnya. Seakan orang tersebut sedang berbicara dengan sesama manusia, atau dengan sang raja. Lalu, samakah raja dengan Allah sehingga sebutan Yang Mulia dan dilanjutkan dengan permohonan sesuatu menjadi umum dilakukan ?

Raja bukan Allah dan sebaliknya. Disebut mulia ataupun tidak, dimintai ataupun tidak, dimohoni do’a ataupun tidak Allah tetaplah Allah. Tidak ada sedikitpun kuasanya akan bertambah apalagi berkurang hanya karena kalimat do’a dari manusia. Justru, manusia yang selalu berdo’a memohon sesuatu kepada Allah dianggap tidak sopan oleh para muhaqiq.

Tidak sopan ? Mengapa ?
Tanpa sadar kita sering kontradiksi dalam bersikap kepada Allah. Di satu sisi kita mengakui bahwa Allah itu maha…, maha…dan maha….pokoknya maha dalam segala hal. Di sisi lain kita sering ragu dengan kemahaan Allah dengan meminta sesuatu melalui do’a. Rejeki halal, ilmu manfaat, ampunan segala dosa, terhindar dari bencana dll, sering terdengar dalam do’a kita. Ini kan bukti bahwa kita tidak konsisten.

Kalau sudah mengakui kemahaan Allah, buat apa kita meminta ? mengapa harus memohon ? mengapa harus mengingatkan ? Memangnya Allah lupa telah menciptakan kita ? Memangnya tanpa do’a atau tanpa meminta kita tidak akan diberi rahmat ?

Wallahu ‘alam…bukan seperti itu. Dengan berdo’a memohon sesuatu berarti kita ragu bahwa Allah itu sami’ wa bashar. Bukankah semua sudah terbentang di depan kita ? Mengapa harus diminta ? Benar-benar tidak sopan ! Benar-benar syirik orang yang berdo’a memohon sesuatu kepada Allah !

Syirik ? Apa dasar tuduhan itu ?
Ya, syirik ! Sebab orang yang berdoa yakin dengan do’anya dan bukan dengan Allah. Dia yakin do’anya bisa memaksa Allah untuk melakukan seperti yang dia inginkan. Masya Allah !... Itu artinya orang tersebut percaya ada kekuasaan lain selain Allah sehingga Allah mau patuh, mau mengabulkan, manut kepada do’a !

Janganlah sekali-kali berdo’a, memohon, meminta, mengingatkan Allah, protes apalagi mendikte Allah. Sedang do’amu, permohonanmu, permintaanmu, tengadah tanganmu, gerak bibirmu, bahkan suara dalam hatimu semuanya atas ijin Allah jua !

“Subhanalladzi asyro linuriyahu min ayatina”