Aksi kocak Tukul Arwana, Eko Patrio, Ulfa Dwiyanti dan sejumlah komedian papan atas Indonesia lainnya mengakrabi layar kaca kita selama sebulan penuh dalam ramadhan yang suci ini. Tak dapat dimungkiri bahwa unsur komedi selalu menjadi andalan bagi setiap stasiun televisi di tanah air dalam menyedot pemirsanya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, pantaskah dalam bulan yang – katanya – penuh barokah ini justru stasiun televisi kita berlomba-lomba menayangkan banyolan yang seringkali mengarah ke dalam kekurangan fisik seseorang?. Dan yang lebih memprihatinkan, tayangan tersebut sengaja diudarakan bertepatan dengan jam makan sahur. Inikah interpretasi dari kalimat klasik fastabikul khairat menurut versi pengelola televisi Indonesia?
“Iya iku wong kang padha sabar ngelakoni taat lan ngedohi maksiat, kang padha tumemen imane, kang padha ngabekti, kang padha ahli sodaqoh, tur kang ahli istighfar ing dalem wektu tengah wengi” ( QS. Ali Imron:17, tafsir Al-Ibris). Ayat di atas merupakan kelanjutan dari ayat 15 dan 16 yang merupakan penjelasan Allah kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu yang akan membawa kebaikan hidup manusia, dan salah satunya adalah orang yang ahli istighfar di waktu tengah malam.
Waktu sahur yang berkisar antara tengah malam sampai imsak (sekitar 10 menit sebelum adzan subuh) adalah saat yang tepat untuk memperbanyak istighfar agar senantiasa membawa kita kepada kebaikan hidup. Sehingga secara tegas kita bisa menarik garis batas bahwa program-program televisi, meskipun mengatasnamakan ramadhan, yang ditayangkan bertepatan dengan saat sahur merupakan pengingkaran dari nukilan ayat di atas. Apalagi menampilkan komedian yang segala tingkah lakunya dikondisikan untuk mengundang tawa, bahkan berpotensi sampai lepas kendali (tertawa dengan keras).
Hilangnya figur panutan?
Menarik untuk diteliti lebih mendalam adalah fenomena meroketnya peran komedian dalam program-program ramadhan. Padahal semestinya wilayah ini menjadi milik (kewajiban) para ulama. Fakta ini bisa berarti dua hal.
Pertama, kemasan dakwah yang tidak menarik. De facto, ceramah-ceramah siraman ruhani yang selama ini disampaikan justru membuat umat ketakutan dengan deskripsi rambu-rambu syariat yang diakhiri dengan ancaman api neraka. Umat berharap tausiyah dapat berlangsung ringan tanpa ancaman neraka. Meskipun sulit dilakukan tapi celah itu ada dan bisa dimasuki. Sebutlah KH. Zainudin MZ yang sekali waktu menyelipkan kalimat kocaknya, atau juga Aa’ Gym yang terasa ringan dalam menyampaikan pesan-pesan moral, bahkan beliaulah yang rasanya menasionalkan do’a dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, tidak banyak ulama yang memiliki kemampuan seperti dua nama tersebut.
Kedua, hilangnya figur panutan yang didambakan dapat mengatasi segala persoalan. Siapapun tahu siapa yang ditirukan oleh Kiwil dan Aa’ Jimi. Masyarakat muslim begitu berharap bahwa dua tokoh yang diparodikan oleh Kiwil & Aa’ Jimi tersebut dapat berlaku sempurna. Mereka lupa bahwa ulama juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Bahkan tingkat godaannya cenderung lebih kompleks dibandingkan manusia yang biasa berperan sebagai umat. Ekspektasi yang tinggi tersebut akan berakhir pada kekecewaan begitu mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Dua penjelasan di atas rasanya sudah cukup untuk menjadi alasan, mengapa peran komedian justru lebih menonjol bila dibandingkan dengan ulama pada tayangan-tayangan televisi kita di bulan ramadhan. Belum lagi ditambah dengan himpitan hidup yang semakin berat, rasanya masuk akal bila masyarakat mencari penawar stres, obat yang secara instan dapat menurunkan derajat ketegangan dawai-dawai emosi.
Fizzamani
Sering diartikan dalam bahasa Jawa dengan wis jamane atau sudah kaprah terjadi di jaman ini. Sebuah kesalahan yang kemudian diterima oleh masyarakat sebagai hal yang biasa sehingga terlihat bukan sebagai kesalahan. Dalam hal ini, menjamurnya tayangan komedi pada jam sahur jelas-jelas sebuah fenomena kesalahan berjamaah. Kesalahannya terletak pada upaya mendorong pemirsa muslim untuk menonton tayangan komedi yang mereka tawarkan. Pada saat yang sama, semestinya pemirsa muslim tersebut bisa meraih kebaikan hidup dengan memperbanyak istighfar. Sehingga, meskipun masyarakat kita secara general menerima tayangan tersebut, tidak berarti hal itu benar. Justru ini berbahaya, apalagi melibatkan media massal televisi dengan audio-visualnya yang sarat dengan kepentingan penumpukan kapital.
Telah menjadi rahasia umum bahwa siapapun yang bisa menggaet komedian yang sedang naik daun untuk program sahurnya, dapat dipastikan rating-nya akan langsung terkatrol. Rating yang tinggi akan mendorong membanjirnya iklan. Dan iklan, siapapun tahu, berarti mengalirnya rupiah dalam kantong stasiun televisi, bisa jutaan bahkan miliaran.
Patut dipertanyakan komitmen pemegang kebijakan yang mayoritas muslim yang telah membiarkan kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Atau barangkali beliau terlalu sibuk memikirkan urusan lain yang lebih penting. Atau barangkali beliau belum pernah ketemu dengan nukilan QS. Ali Imron di atas. Atau, jangan-jangan beliau justru sangat menikmati tayangan komedi sahur layaknya pemirsa televisi lainnya. Dan, adalah ketetapan Allah saja yang mengijinkan terjadinya komersialisasi ramadhan. Sekali lagi fizzamani.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar