Sopan diartikan sebagai perilaku hormat, takzim dan atau juga menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung. Ada kesan merendahkan diri dalam kalimat sopan, dan tidak menjadi persoalan bagi orang yang memang berniat sopan kepada orang lain untuk merendahkan dirinya.
Kepada Allah? Bagaimana cara sopan kepada Allah. Sebab sejauh ini sadar ataupun tidak perilaku kita sering tidak sopan kepada Allah. Mengapa ? Sebab dalam beragama kita lebih sering menempatkan diri kita dalam tataran sosial dan bukan pada tataran tauhid sejati.
Tauhid sejati, apa itu ? Hanya mengakui kekuasaan Allah atas diri kita serta makhluk-makhluk lain di jagad ini. Yang harus digarisbawahi adalah kata “kuasa”. Kuasa atas dunia, kuasa atas harta benda, kekuasaan dan lain-lain adalah kuasa semu yang menipu mata manusia sehingga “bashiroh” kita tidak bisa melihat yang sesungguhnya harus terlihat.
Begitu kita mengenal seseorang yang memiliki kuasa atas dunia lebih dari orang lain di sekitarnya maka perlakuan kita terhadapnya akan berbeda dengan perlakuan kita terhadap orang selain dia. Ini penyakit ! Menyebabkan pandangan mata hati kita kabur. Ini tidak tauhid, sebab secara tidak langsung kita mengakui adanya “kuasa” lain selain Allah. Inilah pangkal ketidaksopanan kita kepada Allah.
Lalu, kita juga sering mempersamakan perlakuan kita kepada Allah dengan perlakuan kita kepada manusia atau makhluk lainnya. Misalnya kepada manusia yang menurut kita memiliki derajat lebih tinggi daripada kita bahkan orang yang sangat biasa. Bahkan kita pernah persamakan Allah dengan calon konsumen (pembeli) barang dagangan yang kita jual. Misalnya saat sholat. Sering kita memaksakan diri untuk khusyu’ agar supaya sholat kita diterima. Padahal justru khusyu’ itu bisa terjadi (kita alami) jika Allah memberikannya kepada kita. Jadi khusyu’ bukanlah milik kita yang bisa dipersembahkan kepada Allah, sebab khusyu’ adalah milik Allah. Kita hanya sekedar diiming-imingi perasaan dekat dengan Allah yang super tenang saat dianugerahi kekhusyu’an yang seringkali hanya beberapa detik saja. Bagi yang bisa berpikir, bila beberapa detik saja sudah sedemikian tenangnya apalagi lebih lama. Allah memberikan khusyu’ agar kita sering kangen sholat, seperti kangennya kita pada “hayataddunya” yang sering memabukkan.
Do’a
“Afdholu du’a Alhamdulillaah…” Demikian hadits Rasulullah. Ini menjelaskan bahwa do’a yang paling afdol (mustajab) adalah pujian kepada Allah. Karena segala sifat yang terpuji memang hak Allah, bukan yang lainnya. Munculnya sederet permohonan dari manusia kepada Allah disebabkan adanya pengaruh budaya istana (kerajaan) yang menempatkan seorang raja sebagai orang yang sangat mulia, yang mendapat mandat dari Allah untuk memimpin umat manusia.
Jamak kita jumpai seseorang menyebut Allah dengan sebutan Yang Mulia, Tuanku dan sejenisnya. Seakan orang tersebut sedang berbicara dengan sesama manusia, atau dengan sang raja. Lalu, samakah raja dengan Allah sehingga sebutan Yang Mulia dan dilanjutkan dengan permohonan sesuatu menjadi umum dilakukan ?
Raja bukan Allah dan sebaliknya. Disebut mulia ataupun tidak, dimintai ataupun tidak, dimohoni do’a ataupun tidak Allah tetaplah Allah. Tidak ada sedikitpun kuasanya akan bertambah apalagi berkurang hanya karena kalimat do’a dari manusia. Justru, manusia yang selalu berdo’a memohon sesuatu kepada Allah dianggap tidak sopan oleh para muhaqiq.
Tidak sopan ? Mengapa ?
Tanpa sadar kita sering kontradiksi dalam bersikap kepada Allah. Di satu sisi kita mengakui bahwa Allah itu maha…, maha…dan maha….pokoknya maha dalam segala hal. Di sisi lain kita sering ragu dengan kemahaan Allah dengan meminta sesuatu melalui do’a. Rejeki halal, ilmu manfaat, ampunan segala dosa, terhindar dari bencana dll, sering terdengar dalam do’a kita. Ini kan bukti bahwa kita tidak konsisten.
Kalau sudah mengakui kemahaan Allah, buat apa kita meminta ? mengapa harus memohon ? mengapa harus mengingatkan ? Memangnya Allah lupa telah menciptakan kita ? Memangnya tanpa do’a atau tanpa meminta kita tidak akan diberi rahmat ?
Wallahu ‘alam…bukan seperti itu. Dengan berdo’a memohon sesuatu berarti kita ragu bahwa Allah itu sami’ wa bashar. Bukankah semua sudah terbentang di depan kita ? Mengapa harus diminta ? Benar-benar tidak sopan ! Benar-benar syirik orang yang berdo’a memohon sesuatu kepada Allah !
Syirik ? Apa dasar tuduhan itu ?
Ya, syirik ! Sebab orang yang berdoa yakin dengan do’anya dan bukan dengan Allah. Dia yakin do’anya bisa memaksa Allah untuk melakukan seperti yang dia inginkan. Masya Allah !... Itu artinya orang tersebut percaya ada kekuasaan lain selain Allah sehingga Allah mau patuh, mau mengabulkan, manut kepada do’a !
Janganlah sekali-kali berdo’a, memohon, meminta, mengingatkan Allah, protes apalagi mendikte Allah. Sedang do’amu, permohonanmu, permintaanmu, tengadah tanganmu, gerak bibirmu, bahkan suara dalam hatimu semuanya atas ijin Allah jua !
“Subhanalladzi asyro linuriyahu min ayatina”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar