Kamis, 08 Januari 2009

SORBAN

“Bapak itu ustad ya?” Demikian Tanya anak pertamaku yang Juli ini masuk SD.
“Hem ?” tanyaku memastikan.
“Bapak itu ustad ya, kok punya itu ?” dia mengulangi pertanyaannya sambil tangan kirinya menunjuk ke arah selembar kain berwarna kombinasi putih dan hijau dengan rumbai rumbai menghiasi tepiannya. Orang sering menyebutnya dengan sorban, surban atau serban.
“Bukan nak, bapak bukan ustad” kataku menjelaskan padanya, lalu aku lanjutkan “Semua orang boleh punya itu selagi ingin, itu diberi mbah kungmu yang tahun lalu naik haji ke Mekkah, jadi orang yang punya atau memakai itu tidak selalu ustad, ngerti ya ?”
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk ringan dan matanya masih menunjukkan bahwa dia belum puas dengan jawabanku.
Aku bisa memahami kebingungannya, sebab dalam tayangan televis, ustad, pak haji atau siapapun yang dipersonalisasikan sebagai orang suci sering dia dapati mengenakan sorban sebagai asesoris yang dikalungkan di leher. Aku sendiri tidak paham bagaimana awal mulanya, yang jelas aku pun sempat berpikiran seperti anakku. Bahwa seseorang yang mengenakan sorban adalah “holy man”
******************************
Islam artifisial, orang pintar sering menyebutnya demikian untuk orang yang berperilaku sebagai orang suci, atau juga orang yang memakai asesoris sebagai orang yang suci. Banyak hal dilakukan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. Sorban, peci putih, jenggot, gamis, tasbih, celana panjang yang ditekuk dll. Semua itu adalah artifisial, kulit belaka.
Sedangkal itukah islam dalam memperlihatkan dirinya. Namun sadar atau tidak kita seringkali terjebak dalam pola semacam itu. Menunduk, merendah di hadapan orang berpeci putih dan bersorban lalu di tangan kanannya memutar tasbih tanpa kita tahu sedang membaca (merapal) apa.
Yah, tetapi memang demikianlah adanya kita di jaman ini. Sering tertipu oleh penampilan fisik seseorang. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dikandung oleh seseorang dalam hatinya. Asal luarnya memperlihatkan kebaikan kita pasti akan sedemikian menghormatinya. Padahal banyak kasus kejahatan dilakukan oleh orang yang luarnya tampak manis namun sejatinya buruk dalam hatinya.
Siapa yang harus dipersalahkan dalam hal ini ?
Pendidikan kita, orang tua kita, para ulama kita, pemerintah ?
Nampaknya semua berpulang pada diri kita masing-masing.
Salah satu penyakit hati paling parah yang melanda umat islam adalah ketidakjujuran. Sederhana dan sangat mudah penangkal itu semua. Ya, all we have to do is “JUJUR”.
Sulitkah ?
Coba saja, rasanya sesak di dada tapi jika kita membiasakannya rasanya tidak ada yang tidak mungkin. Memang diperlukan keberanian yang sangat tinggi untuk berlaku jujur. Tapi, dengan perilaku jujur yang diawali dari masing-masing individu, maka akan memicu perilaku jujur pada kawasan yang lebih luas, kepada keluarga, lingkungan sekitar rumah, laingkungan se kampung, lingkungan se kabupaten, lingkungan se propinsi, se antero negara dan lalu seluruh jagad akan terpengaruh untuk menjadi jujur juga.
Teori yang mudah dan praktek yang susah. Tapi, gak ada salahnya mulai dilakukan, bukan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar