Kamis, 08 Januari 2009

Omong dan Amal

Cukup mengagetkan membaca tulisan Gus Dur di harian Sindo beberapa hari lalu mengenai dinamika diskusi antara beliau dengan beberapa elemen fundamentalis. Sampai-sampai beliau meyatakan bahwa pihak kurawa dalam pewayangan adalah pahlawan yang belum mendapatkan pencerahan. Adalah persoalan yang penting sehingga Gus Dur sampai berniat memaparkan kembali gagasannya tentang islam sebagai komplementer atau alternatif. Dan pastilah terjadi proses diskusi yang seru meskipun penulis tidak terlibat langsung. Golongan fundamentalis dengan jalur lurusnya pasti sering dipaksa bereaksi oleh pernyataan-pernyataan Gus Dur yang kita tahu seringkali terkesan “seenaknya” bahkan “menjengkelkan”.
Omong
Pada saat memulai sebuah diskusi, tentang apapun itu, landasan yang harus dipijak secara kokoh dan bersama oleh peserta diskusi adalah penghargaan terhadap perbedaan. Sehingga tidak boleh ada pemaksaan sebuah ide terhadap peserta lainnya. Hal ini perlu disadari melihat fakta riuhnya sebuah diskusi di media televisi yang disaksikan (terkadang langsung) oleh jutaan pemirsa.
Para pelaku diskusi, biasanya ahli-ahli di bidang tertentu, selalu mempertahankan idenya dan selalu berusaha memasukkan pandangannya kepada lawan diskusinya. Seakan sebuah perang fisik yang mengharuskan salah satu pesertanya kalah bahkan mati. Hingga segala cara dilakukan sampai lawan diskusinya pun merasa harus melakukan hal yang sama untuk mempertahankan posisinya. Belum lagi kalimat-kalimat pancingan dari moderator atau presenter yang dibayar mahal untuk membuat suasana bertambah menarik (panas).
Hilangnya logika berpikir jernih telah jamak terlihat saat salah seorang peserta diskusi merasa dirinya tersudut. Komentar dan tanggapan yang disampaikan pun tidak jarang terdengar aneh bahkan menyimpang jauh dari tema dasar. Diskusi berubah menjadi sebuah forum pembelejetan borok orang lain. Dan lucunya, mereka bangga telah melakukannya, merasa telah berbuat baik untuk orang banyak (golongan yang diwakilinya).
Amal
Man ‘alimu wa ‘amilu ‘alamallahu maalam ya’lam. Kalimat klasik namun tetap relevan hingga saat ini. Sudah ratusan kali kita mendengarkan kalimat tersebut pada berbagai forum pengajian dan juga tulisan di buku-buku yang mengangkat tema pentingnya ilmu dan amal. Namun tidak ada salahnya bila kita merenungkannya kembali agar dapat menambah mantap keyakinan kita.
Siapapun tahu bahwa amal tanpa ilmu kesasar. Dan ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Sehingga sekian ulama mengulang-ulang terjemah dari nukilan di atas “sesiapa yang berilmu (meskipun sedikit), kemudian mengamalkannya, maka Allah akan menambah ilmu orang itu secara kontinyu dan selanjutnya (seakan-akan) dia menguasainya tanpa perlu belajar lagi”.
Kecenderungan untuk berbicara, menyampaikan pendapat atau diskusi bukan perkara negatif. Namun harus diingat bahwa ber-islam adalah soal ber-amal dan bukan soal berdiskusi. Penulis ingat 10 tahun lalu pernah diguyur dengan ribuan bahkan jutaan kalimat mutiara oleh mBah kyai sepuh, salah satunya adalah “Sing sopo wonge ngomong berarti gak ngamal, sebab ngamal iku gak oleh ngomong” (siapapun yang berbicara berarti tidak bekerja, sebab bekerja itu tidak boleh bicara). Beliau melanjutkan paparannya dengan mencontohkan sholat. Bagaimana seseorang dikatakan sholat sedangkan dia sibuk berbicara, padahal dalam sholat tidak boleh ngomong selain bacaan sholat. Berarti orang yang ngomong itu tidak sholat, sebab kalau sholat pasti tidak ngomong. Hadirin gerr… seketika.
Menahan untuk tidak ngomong dan lebih mementingkan ber-amal memang bukan perkara mudah. Sebab mayoritas kita suka bercerita, menceritakan segala hal, termasuk bercerita pengalaman kita dalam ber-islam. Semangat awalnya adalah sharing, lalu membandingkan pengalaman kita dengan lawan bicara kita bahkan bisa berakhir pada kebanggaan semu karena merasa yang sudah kita bicarakan bisa masuk di kepala lawan bicara kita itu. Padalah bila mau merenungkannya lebih dalam, kebanggaan seperti itu biasanya memiki sisi tajam yang dapat menghunjam ke arah kita sendiri.
Amal, amal dan amal. Kurangi bahkan hilangkan kebiasaan ngomong berlebihan, apalagi tentang ber-islam. Sebab hasil sebuah peng-amalan bisa berbeda jauh antara satu orang dengan yang lainnya. Taruhlah bacaan Al-Fatihah. Kita tahu itu multifungsi, diyakini bisa memberikan manfaat apa saja bagi sesiapa yang membacanya. Satu orang dalam kondisi minta perlindungan Allah karena dalam bahaya, baca Al-Fatifah. Satunya lagi berhajat makan pagi, dengan maksud agar barokah dan tidak tersedak, juga membaca Al-Fatihah. Jadi, Beberapa hajat yang berbeda dapat diselesaikan cukup dengan satu peng-amalan saja.
Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut keyakinan yang lebih mendalam. Banyak hal yang kemudian tidak bisa begitu saja diceritakan kepada orang lain mengingat kerahasiaan (sirri) yang terkandung di dalamnya. Mulai dari pengalaman spiritual yang sederhana sampai perjumpaan dengan Rasulullah SAW lewat mimpi. Sehingga, intinya adalah amal, amal dan sekali lagi amal. Kalau banyak omong pastilah amalnya sedikit atau tidak beramal sama sekali.
Dengan demikian, idealnya Gus Dur tidak perlu meyakinkan elemen fundamentalis dengan berbagai keterangan yang sebenarnya sangat mencerahkan tersebut. “Innal huda hudallah” , bila Allah menganugerahkan hidayah kepada mereka, tanpa dijelaskan begitupun mereka pasti akan tercerahkan. Kebenaran yang dipegang oleh Gus Dur dan ditandingi oleh kebenaran oleh elemen fundamentalis, akan menjadi debat kusir yang tidak ada habisnya. Apalagi sampai menyangkut nama golongan.
“Mereka lupa Gus, bahwa Allah itu maha sendiri, tidak punya takut. Nggak seperti mereka yang selalu mengaku pasrah kepada Allah tetapi lebih memilih berkelompok untuk menutupi ketakutan mereka yang tanpa alasan. Padahal dengan berkelompok mereka telah mengakui adanya kekuatan selain Allah. Hayo siapa yang mau bergabung dengan golongan itu ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar